ANTERO SERANG - Bulan suci Ramadan menyajikan banyak cerita menarik bagi warga negara Indonesia yang berada di negara orang. Setiap Ramadan datang mereka selalu merindukan tanah air.
Berlari cepat juga merupakan kewajiban yang harus dipraktekkan oleh semua Muslim di seluruh dunia, di mana pun mereka berada. Di Indonesia, kami menjalankan puasa dengan keadaan yang cenderung tidak sulit karena cuacanya cukup stabil dan durasi puasa cukup ideal yaitu sekitar 14 jam.
Suasana indah Kangen Ramadhan, mulai dari taraweh sholat, tadarus Al-Quran, sound drum, suara adzan, terbuka bersama, menunggu berbuka puasa (ngabuburit), suasana sahur di mana ada orang-orang yang bangun di sekitar sahur atau melalui pengeras suara di masjid. Kisah ini menjadi suasana langka dan tidak akan pernah terasa di luar negeri terutama di negara-negara barat.
Kisah ini juga dirasakan Hevi Yani (37) warga Banten yang menjalani puasa di Amerika Serikat. Untuk Hevi Yani perempuan asli Desa Cinangka, Desa Cinangka, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten telah berkali-kali berpuasa di negara Paman Sam. Karena ia sudah hampir 19 tahun tinggal dan menetap di negara Adi Daya bersama suaminya, Amir Kofir dan dua anaknya Naufal dan Adilla di Kota Gaithersburg, Maryland, Washington DC, AS.
Di Amerika pusa tahun ini selalu bertepatan dengan musim panas sehingga harus merasa lebih berat. Namun demikian, mereka semua merasa senang menjalankan puasa di negara yang mayoritas non-Muslim.
"Puasa sekitar 17 jam lebih lama dari di Indonesia yang hanya 14 jam," kata Evi sapaan akrabn Hevi Yani mewawancarai antero melalui surat elektronik.
Bagi Evi, bulan puasa adalah bulan yang diberkati bagi umat Islam dari Indonesia. Saat menjalani puasa pasti ada cinta dan duka. "Sukaya, kita bisa berkumpul dengan warga Indonesia saat buka puasa dan sholat tarawih," kata Evi.
Berlari cepat juga merupakan kewajiban yang harus dipraktekkan oleh semua Muslim di seluruh dunia, di mana pun mereka berada. Di Indonesia, kami menjalankan puasa dengan keadaan yang cenderung tidak sulit karena cuacanya cukup stabil dan durasi puasa cukup ideal yaitu sekitar 14 jam.
Suasana Puasa Ramadan Terakhir di Amerika Serikat
Suasana indah Kangen Ramadhan, mulai dari taraweh sholat, tadarus Al-Quran, sound drum, suara adzan, terbuka bersama, menunggu berbuka puasa (ngabuburit), suasana sahur di mana ada orang-orang yang bangun di sekitar sahur atau melalui pengeras suara di masjid. Kisah ini menjadi suasana langka dan tidak akan pernah terasa di luar negeri terutama di negara-negara barat.
Berita Banten
Kisah ini juga dirasakan Hevi Yani (37) warga Banten yang menjalani puasa di Amerika Serikat. Untuk Hevi Yani perempuan asli Desa Cinangka, Desa Cinangka, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten telah berkali-kali berpuasa di negara Paman Sam. Karena ia sudah hampir 19 tahun tinggal dan menetap di negara Adi Daya bersama suaminya, Amir Kofir dan dua anaknya Naufal dan Adilla di Kota Gaithersburg, Maryland, Washington DC, AS.
Di Amerika pusa tahun ini selalu bertepatan dengan musim panas sehingga harus merasa lebih berat. Namun demikian, mereka semua merasa senang menjalankan puasa di negara yang mayoritas non-Muslim.
"Puasa sekitar 17 jam lebih lama dari di Indonesia yang hanya 14 jam," kata Evi sapaan akrabn Hevi Yani mewawancarai antero melalui surat elektronik.
Bagi Evi, bulan puasa adalah bulan yang diberkati bagi umat Islam dari Indonesia. Saat menjalani puasa pasti ada cinta dan duka. "Sukaya, kita bisa berkumpul dengan warga Indonesia saat buka puasa dan sholat tarawih," kata Evi.
Bahkan tinggal di negara yang mayoritas non-Muslim bukanlah penghalang bagi Evi dan keluarga untuk tinggal jauh di dalam ajaran agama mereka. Ditambah suhu tinggi yang terkadang mencapai 40 derajat Celcius, dan tantangan lain yang mereka rasakan.
"Atmosfir tradisional yang biasa ditemukan di Indonesia tidak ada di sini. Banyak orang yang makan minum, tidak ada suara adzan, tidak ada yang memukul kentungan seperti di Indonesia, tidak ada acara TV yang bernuansa Islami, tidak ada makanan khas Indonesia," cerita dari Evi.
Meski sudah berpuasa, lanjut Evi jika bersama teman akan terasa lebih ringan karena mereka tinggal bersama. Kesedihannya untuk berpuasa di tanah orang-orang selalu sedih ketika mengingat suasana keluarga dan Ramadhan di kota kelahirannya. Tetapi dia memiliki seorang guru agama dan tergabung dalam kelompok studi di Amerika.
"Kami dulu berkumpul di IMAAM Center (Masjid Warga Negara Indonesia di Washington DC). Ini seperti keluarga sendiri. Buka bersama, berdoa taraweh bersama dan pengajian," aku Evi.
Evi melanjutkan ceritanya, sementara berpuasa seperti sekarang ia merindukan hidangan khas Ramadhan seperti takjil, kolak pisang, ketan atau es kelapa.
"Kangen memasak ibu di desa. Kita di sini biasanya buka cukup tanggal yang sama, roti dan air aja," kata Evi yang merencanakan tahun ini akan kembali ke Indonesia setelah hampir 19 tahun tidak pernah pulang.
"Atmosfir tradisional yang biasa ditemukan di Indonesia tidak ada di sini. Banyak orang yang makan minum, tidak ada suara adzan, tidak ada yang memukul kentungan seperti di Indonesia, tidak ada acara TV yang bernuansa Islami, tidak ada makanan khas Indonesia," cerita dari Evi.
Meski sudah berpuasa, lanjut Evi jika bersama teman akan terasa lebih ringan karena mereka tinggal bersama. Kesedihannya untuk berpuasa di tanah orang-orang selalu sedih ketika mengingat suasana keluarga dan Ramadhan di kota kelahirannya. Tetapi dia memiliki seorang guru agama dan tergabung dalam kelompok studi di Amerika.
"Kami dulu berkumpul di IMAAM Center (Masjid Warga Negara Indonesia di Washington DC). Ini seperti keluarga sendiri. Buka bersama, berdoa taraweh bersama dan pengajian," aku Evi.
Evi melanjutkan ceritanya, sementara berpuasa seperti sekarang ia merindukan hidangan khas Ramadhan seperti takjil, kolak pisang, ketan atau es kelapa.
"Kangen memasak ibu di desa. Kita di sini biasanya buka cukup tanggal yang sama, roti dan air aja," kata Evi yang merencanakan tahun ini akan kembali ke Indonesia setelah hampir 19 tahun tidak pernah pulang.